Tahun 2022, bisa dibilang periode aku membebaskan diri dari kukungan pikiran yang kuciptakan sendiri. Jadi, bolehlah ya memakai judul drakor favoritku yang dibintangi si kesayangan, son sokku, My Liberation Notes.
Pindah ke Bali
Saya pertama kali ngekos di Jakarta buat kerja trading komoditi abal-abal pada 2003. Artinya, per Maret 2022 saya sudah tinggal di Jakarta-Depok selama 19 tahun.
Berpindah-pindah dari area Jl Blora persis depan stasiun Sudirman, lalu ke Kebon Kacang belakang Plaza Indonesia yang banyak makanan enak, area Kedoya biar dekat sama kantor dan gampang pulang malam tinggal jalan kaki, lalu ke Pesanggrahan karena butuh rumah lebih gede dan halaman depan-belakang.
Saat pindah kerja, saya tak sendirian lagi. Kami pindah lagi ke area Palbatu sekitar tahun 2011, demi mendekat ke kantor sekitar 5 menit naik motor. Lumayan betah di area itu tapi akhirnya menempati rumah di Depok. Happy dengan kebun jumbo di belakang rumah, tapi akses terbatas.
Sembilan belas tahun bikin saya lumayan hapal area Jakarta, asal bukan Jakarta Utara. Tapi saya cuma tahu sedikit area Depok, sebatas akses UI, RTM, dan Margonda.
Saat Covid-19 melanda, saya tinggal di Depok. Ketika penyakit itu sedang di puncak, tiap hari kami mendengar pengunguman kematian.
Bisnis menyurut, tapi masih survive. Bahkan sempat mengerjakan peluang baru dengan nilai jumbo. Alhamdulillah banget.
Namun, sepertinya kok ada yang salah. Terasa seperti berlari di tempat.
Dapat income banyak, tapi biaya juga besar.
Mau lihat pantai mesti ke anyer. Mau hijau-hijau dikit ke area Bogor.
Semakin tinggi tuntutan klien, semakin besar ongkos healing. Masalahnya, tidak sedikit klien yang budget ngepas tapi maunya banyak. Sementara kita tidak bisa menagih invoice untuk recovery fisik dan mental, kan?
Gerakan Work From Bali yang gencar digembargemborkan sekitar pertengahan 2021, lalu gelombang orang-orang Jakarta yang mulai bekerja dari sana, memberi keberanian.
Terbersit cita-cita, pindah ke Bali aja lah. Mau ke pantai, gunung, bukit, danau, gak akan butuh banyak effort.
Tapi tentu saja, ide ini saya simpan baik-baik di kepala sambil riset sana sini.
Ada satu urusan besar yang mesti dibereskan jika berniat pindah ke Bali. Yaitu, tutup kantor dan kasi pesangon. Jangan sampai rencana stay di Bali rusak gara-gara aku dikira kabur.
Awal 2022, ide itu mulai dibicarakan ke suami dan anak.
“Kita road trip lagi yuk. Ke Bali. Liburan, dan coba kerja dari sana. Kita coba sebulan, kalau betah bisa lanjut. Ya, kita coba maksimal sampai Desember deh.”
Si bocah super antusias. Suami juga setuju. Pada dasarnya dia suka nyetir mobil jarak jauh.
Kami berangkat sehari sebelum harga Pertamax naik dari Rp 10 ribuan per liter ke Rp12 ribuan.
Tanpa terasa, malam tahun baru 2023 kami habiskan di GWK, nyanyi bareng Sheila On 7 yang ngangenin banget.
Rencana tinggal di Bali sampai Desember tak terlaksana. Kami tak juga kembali ke Depok. Sebab sampai hari ini, kami masih super happy di sini.
Rezeki bisa didapat di mana saja. Sampai sekarang, klien masih di Jakarta semua. Tentu ada satu atau dua yang harus ditolak karena mereka minta saya standby di Jakarta. Tapi secara umum, seharusnya sih aman lah 🙂
Beberapa peluang juga mulai terlihat di Bali.

Menjadi single freelancer
Tidak mudah menutup perusahaan yang baru dibangun pada 2015.
Katanya, ujian awal di lima tahun pertama, setelah itu baik-baik saja.
Lima tahun berlalu, tapi masih terasa berat. Ya mungkin pendapat “akan baik-baik saja setelah lima tahun” itu betul, asal SDM nya pun tepat.
Punya perusahaan memang membuat kita bisa membuka peluang kerja buat orang lain. Tentu saja, tanggung jawabnya besar. Ada masanya, uang habis buat transfer gaji meski kerjaan bulan itu enggak seberapa. Ada masanya, karyawan makan foya-foya habis gajian di mal, saya masak sisa bahan apa saja di kulkas.
Hahaha. Gitu lah tanggung jawab pemberi kerja.
Jelang akhir 2021, seiring dengan closing kontrak tahunan klien, saya memberanikan diri untuk tutup buku.
Momentumnya juga pas. Karena sebelumnya, saya mikir ribuan kali buat PHK sehingga rencana itu tertunda.
Dulu bikin perusahaan butuh modal. Nutup pun butuh biaya tak sedikit. Bayar pesangon, pajak dan sebagainya.
Tapi, saya harus meyakinkan diri bahwa ini yang terbaik. Pilihan paling realistis.
Apalagi jika si owner berfungsi sebagai tim kreatif-produksi sekaligus manajemen. Jualannya malah enggak sempat karena terlalu repot mengurus kerjaan yang masuk.
Ketika perusahaan dijalankan dengan model toko kelontong -single boss- ya perusahaan gak bakal jalan, dan karyawan cuma terasa jadi beban.
Posisi saya sudah serba terjebak. Bukan sekali dua kali coba cari orang yang jago manajemen, cuma ya gimana ya kalau ketemunya ampas. Mungkin saya yang belum pantas.
Ada ego untuk mempertahankan dan membuktikan. Dan membebaskan diri dari ego itu, butuh waktu dan keikhlasan.
Pernah dengar lagu Sheila On 7 -Aku pulang? Nah, rasanya itu lah soundtrack saya buat momen tersebut.
Alhamdulillah, itu keputusan terbaik. Baik untuk saya, maupun untuk karyawan yang jadi ketemu jalan terbaik bagi karier dan perduitan mereka. 🙂
Membebaskan diri dari pembalut sekali pakai
Sudah lama saya jijik dengan pembalut. Puluhan tahun saya benci hari-hari harus pakai pembalut. Bau, kotor, wek juh lah.
Sama bencinya sama diapers. Makanya si bocah enggak pernah pakai diaper. Buat saya, diapers yang telah terpakai betul-betul membingungkan saat harus buang. Harus dibersihkan, karena terlalu menjijikkan jika dibuang begitu saja. Dan saya benci liat diapers di tempat sampah. Ga usah omong dampak lingkungan lah ya, I just hate it.
Makanya anakku pakai popok kain dan enggak ngompol lagi sejak bisa jalan usia 2 tahun. Sesekali saat pergi dia pakai diapers. Untungnya, kok ya diapersnya bersih aja.
Nah, masalahnya si pembalut ini.
Sejak punya anak, saya pakai pembalut kain. Ini opsi lebih baik dari pembalut sekali pakai yang bikin risih saat buang sampah. Tapi ya namanya kain, harus dibersihkan dengan super esktra.
Sampai kemudian, awal 2022, saya beranikan coba menstrual cup. Beli di toko hijau, produknya brand Singapura, harga 400 ribuan.
Saya harus berkali-kali nonton di You Tube buat dapat cara pakai yang benar.
Pertama kali coba, duh..gimana sih ini.
Kali kedua, cuss.
Gila banget, aku berasa bodoh pol enggak makai sejak umur 20an.
Buat saya, menstrual cup ini inovasi terbaik buat perempuan.
Cup itu menampung darah haid dengan baik, no bocor-bocor. Asal pakainya bener, si cup akan bertahan aman dan nyaman. Mau pipis atau pup ya langsung aja.
Hari pertama, mungkin harus lepas tiga jam pemakaian. Buang darahnya di kloset, dan cuci bersih, lalu pakai lagi. Iya, se simple- itu.
Dan.. gak bau sama sekali.
Karena emang darah haid gak bau. Pembalut yang lembap itu lah yang bikin bau.
Celana pun kering bersih
Asli, sebahagia itu aku pakai menstrual cup.

Merdeka Belajar
“Anakmu enggak sekolah”
“Enggak kasihan sekolah online aja, kan sudah bisa tatap muka?
“Itu sekolah resmi?”
Hampir dua tahun anakku belajar di Sekolah Murid Merdeka. Basisnya memang pembelajaran online, meski mereka punya hub di beberapa kota di Indonesia untuk sekolah tatap muka.
Status SMM adalah PKBM, termasuk sekolah non-formal. Orang biasanya bilang home schooling.
Namun SMM mengusung kurikulum yang sama dengan sekolah formal, dengan pendekatan merdeka belajar. Karena berbasis online, SMM punya fitur pendukung yang memudahkan.
Mungkin memang waktunya pas banget. Saya memindahkan anak dari sekolah swasta nasional ke SMM saat dia naik kelas tiga pada 2021, ketika Covid menggila.
Pertimbangannya sederhana, pada saat pandemi, semua sekolah jadi online. Tapi guru-gurunya pun sedang tergagap-gagap dengan perubahan. Sistemnya masih manual, hanya saja platformnya digital.
Sekolah live zoom masih berdurasi cukup panjang.
Tugas-tugas harus dicetak, kemudian diisi, lalu difoto, dan diunggah ke drive.
SMM muncul di momen yang tepat. Plus, pendekatan pengajarannya pakai metode sekolah Cikal yang sudah berbasis digital. Sudah ada aplikasi yang jadi satu dengan tugas, dll.
Si anak mengerjakan tugas menggunakan kuiz atau game.
Kadang ia harus membuat project sains atau seni, dan seru banget.
Saat uji coba, anakku juga menikmati dan enggak kaget sama sekali.
Pendekatan mirip dengan sekolah lama yang sangat menghargai proses natural belajar anak.
Akhirnya pindah sekolah pada saat kenaikan kelas 3 SD.
Dampaknya, SPP 2 bulan di sekolah lama cukup buat bayar SPP 1 tahun di SMM. Uhuy! Ibu menang banyak.
Dampak lainnya, sekolah di SMM membuat kami leluasa nge-trip.
Saat pindah ke Bali, anak tetap belajar di SMM. Live 1 jam per hari, lalu tugas-tugas yaaaa bisa lah 3 jam sehari. Sisa waktunya ia pakai untuk sekolah bola, berenang dan surfing, serta main sepeda di pematang sawah, atau cari ikan di aliran subak. Dan tentu saja, ngetrip impulsif bareng kami. 😀
Anaknya happy, ibu ikut senang.
Kami membebaskan diri dari sekolah tatap muka rutin konvensional.
Bukan berarti sekolah kovensional itu buruk ya. Buat tipe anakku -audio kinestetik- SMM lebih sesuai.
Isu interaksi sosial sepertinya enggak berlaku buat anakku.
Dia bersosialisasi dengan baik saat sekolah bola, atau saat main dengan teman. Dia juga bisa berinteraksi wajar dengan orang-orang yang lebih tua, seperti para tetangga atau orang tua murid sekolah bola. Dia juga berani dan santai bertemu orang baru. Sejak kecil memang sering kubawa meeting, dan kubawa ke kantor. Plus, ini bocah persis bapaknya yang tukang nongkrong dan senang ngobrol. 😀
Paling effort lebih ialah tentang bagaimana membangun kedisiplinan dan tanggung jawab agar ia selalu bisa mengerjakan tugas on time.
So, thank you 2022 and welcome 2023!