Buat orang ‘lama’ seperti generasi orang tua saya (generasi kelahiran 1950-an), investasi saham itu nggak masuk di akal.
Orang tua saya, pasangan PNS dan ibu rumah tangga. Bagi mereka, investasi itu ya beli tanah atau rumah, buat disewakan atau dijual ketika harganya naik.
Nabung itu ya arisan atau beli emas, dan simpan baik-baik sampai waktunya dibutuhkan.
Sebisa mungkin, berhemat. Kalau kurang, cari tambahan.
Dulu saat saya SMP, mama rajin cari tambahan.
Mulai dari buka warung sembako dan jajanan, wartel satu pesawat telepon, laundry, agen tupperware, terima pesanan kue kering, sampai terima orderan bikin lap dari sisa konveksi. Oh ya, mereka juga punya aset satu rumah kontrakan.
Pokoknya, kalau mau punya cukup uang, ya kerja keras dan berhemat. Kalau punya banyak tabungan, beli rumah.
Investasi saham, apalagi jual beli forex, mana ada begituan, enggak masuk akal.
Krisis jadi sumber peluang
Krisis ekonomi 1998, saya baru setahun masuk kuliah dan ngekos di Bandung.
Uang kuliah saat itu masih terjangkau, Rp450 ribu per semester, sebesar tiga kali lipat uang sewa bulanan untuk kamar kost saya di daerah Cisitu-Simpang Dago. Tapi saat itu saya enggak berani minta lebih buat uang bulanan.
Tahun segitu, kalau dihitung-hitung, jatah saya hanya Rp5.000 per hari, sudah termasuk makan, beli buku, sabun, odol, dan lain-lain.
Saat itu, sekilo telur isi 16 butir dihargai Rp7.500, dan sebungkus Indomie berharga Rp350-an. Kalau saya beli nasi goreng di kantin mahasiswa, cukup membayar Rp1.000 saja (dengan irisan telur dadar, timun dan tomat) atau Rp1.500 dengan telur mata sapi.
Jadi setahun pertama itu, makan bakso adalah kemewahan (karena bakso cuma camilan) dan fotokopi materi kuliah adalah pemborosan.
Untung ada kuota pinjaman perpustakaan sebanyak 16 buku per dua minggu.
Untung ada kuota buku teman lain yang tidak terpakai dan boleh kupakai.
Untung kos-an dekat, jadi saya cukup jalan kaki. Makanya wajar aja bobot saya cuma 45 kg-an saat itu (bangga pernah langsing, haha)
Jadi, ketika salah satu teman kuliah bercerita tentang simpanan dollarnya, saya mendelik. Ia menabung dollar sejak SMA karena memang bercita-cita kuliah di luar negeri.
Tapi karena krisis, target biaya tidak tercapai, ia jadi ikutan UMPTN dan kuliah di Bandung. Dollar simpannya ditukar menjadi rupiah, dengan keuntungan berlipat.
Ia sudah menabung dollar sejak bernilai 1 USD setara dengan Rp2.500. Saat krisis, dollar meroket hingga Rp10.000. Kos-kosan teman itu bahkan termasuk yang mewah di Dago, Bandung.
Saya takjub, karena tak pernah punya konsep tentang investasi mata uang asing. Dollar saja, saat itu, belum pernah lihat.
Teman itu bilang, uang dolarnya tak semua ia gunakan untuk urusan kuliah. Ia bilang, akan dipakai buat beli saham.
Haduh, saham, apaan lagi sih?
Lalu ketika kami sedang duduk-duduk di lapangan basket, sambil saya liat-liat senior gedung deretan timur melintas, ia menjelaskan sekilas saham.
“Pokoknya, kalau kamu beli saham, kamu bisa dibilang punya perusahaan, walaupun dikit.”
Zaman segitu, beli saham enggak semudah saat ini. Dulu harus punya modal gede. Kalau sekarang, cukup sediakan dana sesuai nilai saham yang ingin kita miliki, minimal 100 lembar.
Jadi kalau harga sahamnya Rp300 per lembar, ya kamu cukup sediakan 30 ribu, udah bisa beli 1 lot di aplikasi Ajaib yang direkomendasikan Han Jipyeong #halah.
Saat naik tingkat dua, 1998, saya ingat dia cerita baru belanja saham. Saya lupa dia beli apa, tapi IHSG saat itu ambrol ke angka 300an. Sehingga banyak harga-harga saham yang terkoreksi.
Tentu saja saya enggak ikut-ikutan investasi saham saat itu. Lha wong ngatur budget Rp5000 per hari aja masih pusing.
Tapi, ada yang nempel dalam ingatan saya.
Saat krisis, kelompok orang kaya yang punya dana berlebih akan menggunakan simpanannya untuk membeli lebih banyak aset yang harganya turun, aliasi terdiskon.
Tapi kelompok menengah menggunakan dana simpanannya untuk bertahan.
Mereka yang punya dana berlebih bisa semakin kaya raya berkat krisis. Mereka yang pas-pasan, sudah bagus bisa bertahan saat krisis.
Gimana caranya biar ga cuma pas-pasan dalam situasi krisis?
Tahun 2002, saat kami bersiap wisuda, ia kembali menyemangati. “Cepet, ndang (segera) invest saham.”
Saya cuma ketawa. Saya enggak pernah bisa nabung dengan benar meski kebutuhan saya juga enggak banyak.
Plus, saat itu sebetulnya saya juga bekerja, menjadi guru les matematika dan sains.Tapi saya juga sudah enggak minta dikirimin uang bulanan.
Tahun 2004, awal-awal saya masuk dunia kerja, IHSG merangsek naik ke level 1000-an. Dan setelah itu terus meningkat.
Tahun 2008, krisis kembali mampir hingga bursa saham. IHSG yang sempat menyentuh 2000-an, turun hingga di level 1100-an sekitar bulan Oktober.
Tahun segitu, saya lagi sering traveling dan sedang senang-senangnya jadi wartawan. Gaji saya ga banyak, sekitar 3 jutaan pas UMP.
Uang kos Rp500 ribu per bulan, makan cukup mengandalkan kupon makan di kantin karyawan. Ada tabungan, tapi seperti biasa, ga banyak-banyak amat.
Saat IHSG dikabarkan ndelosor, ingatan saya tentang masa kuliah itu kembali. Saat pasar takut dan khawatir (krisis), beranikan diri untuk mendekat ke pasar saham.
Momentum itu terulang kembali, Maret 2020, usai WHO menetapkan Covid-19 sebagai pandemi, dan Pemerintah RI menetapkan PSBB.
Dalam rentang waktu Maret-Desember, kelompok menengah pas-pasan sibuk bertahan, dan mereka yang punya uang lebih menyimpannya di pasar saham.

Investasi terbaik
Dulu, saya jarang liat anak muda saat RUPS.
Sekarang, meski saya juga udah hampir enggak pernah datang pada RUPS yang sering bagi-bagi merchandise keren itu, saham sudah menjadi salah satu instrumen keuangan paling populer di kalangan anak muda
Saham dipercaya sebagai solusi mengembangkan dana karena emang sulit sekali berhemat dan nabung di tengah tekanan lifetsyle saat ini. ๐
Thanks to influencer yang sudah banyak mengenalkan saham sehingga makin banyak anak muda yang menjajal investasi saham. Bahkan ada yang menjajal pasar uang, bitcoin, hingga permainan trading option.
Dalam pasar saham, ada trader dan ada investor.
Trader, seperti namanya – pedagang- ya kerjaannya beli saat harga murah, dan jual saat harga bagus. Biasanya, para trader mengandalkan analisis teknikal untuk melihat momentum kapan mesti beli dan kapan mesti jual.
Jika tindakannya tepat, ia akan mendapatkan selisih harga sebagai keuntungan.
Sedangkan investor, lebih mengandalkan aspek fundamental perusahaan. Seorang investor biasanya menyiapkan dana cukup besar untuk membeli saham perusahaan yang menurutnya baik, dan mendiamkannya bertahun-tahun.
Investor bisa mendapatkan dua keuntungan, yaitu dari dividen yang dibagikan tiap tahun, dan selisih harga saham.
Investor menggunakan pendekatan value investing dan growth investing. Untuk saat ini, belum saya jelaskan, tapi silakan googling.
Semua strategi di atas butuh knowledge.
Maka investasi terbaik jika ingin mulai berinvestasi, bukan milih apa instrumen investasi terbaik. Tapi, seperti kata Warren Buffet, isi dulu kepala kita dengan pengetahuan yang sesuai.
โThe best investment you can make is an investment for yourself. The more you learn, the more you’ll earn.
warren buffet
Jangan gampang ikut-ikutan.
Saat ada Youtuber cerita untung besar di pasar forex, atau mendadak jadi sultan gara-gara main Binomo, jangan latah.
Jika tertarik investasi saham, jangan cuma mantengin cuitan Kaesang Pangarep yang sering nyengol-nyenggol emiten. Tapi belajar.

Ketika Kaesang Pangarep beli saham PT Kimia Farma (Tbk) – KAEF dan tidak lama kemudian Presiden Joko Widodo mengumumkan berita vaksin masuk Indonesia, lantas harga saham di bidang farmasi naik pesat, ia punya modal milyaran.
Belanjanya ga cuma 1 lot seperti rakyat pas-pasan.
Saham KAEF naik Rp150 per lembar aja, kalo punya 1 lot artinya untung Rp15.000. Kalau modalnya puluhan milyar sehingga bisa beli 100 ribu lot, untungnya Rp1,5 Miliar dalam waktu tidak lebih dari 24 jam.
Bayangin kalau belanja saham BCA saat terdiskon di angka 25 ribuan sekitar Maret 2020, lalu baru dijual akhir Desember 2020 ketika ada di harga 35ribuan. Untung Rp1 juta per lot, dalam kurun waktu 9 bulan.
Jadi kalo dibilang invest saham untung ratusan juta, ya modal ente berapa?
Belakangan ini, saya lebih percaya teori bandar. Kalau bisa memproyeksi gerakan bandar di pasar saham, maka kita bisa ‘ikutan’ dan dapat cuan dikit-dikit.
Ini semacam nebeng riders di jalan raya dan bisa menyalip beberapa mobil.
Beberapa teman mulai bertanya saham rekomendasi. Saya jawab dengan sopan, saya bukan manajer investasi, enggak punya kredibilitas buat rekomendasikan saham, apalagi ngajak-ngajak orang buat invest saham yang sama dengan saya.
Bukan apa-apa, saya juga bukan ahlinya. Plus tujuan investasi orang yang berbeda-beda, akan membedakan strategi yang dipakai, dan instrumen yang dipilih.
Intinya, investasi lah hanya pada hal yang kita ngerti.
Seperti orang tua saya, di masanya, yang hanya ngerti tanah dan rumah, maka itu lah yang mereka kerjakan.
Tapi sekarang, sudah banyak sumber informasi untuk mempelajari semua instrumen investasi.
Jadi, isi otak dulu biar rekening ikutan penuh nantinya.
4 thoughts on “Investasi Saham dan Untung Besar yang Tak Boleh Kamu Percaya Begitu Saja”
Pingback: Mengenal Wakaf Uang, Produktif untuk Kemaslahatan Umat - Sica Harum
Pingback: Drakor Twenty Five Twenty One, Mengejar Mimpi yang Direnggut Krismon 98
Pingback: Plugin Elementor Pro, Salah Satu Penyelamat Bisnisku di Masa Pandemi
Pingback: 8 Tips Atur Keuangan buat Freelancer di Masa Pandemi