Sudah lama aku ingin menikmati kopi kintamani di tempat aslinya. Namun perjalanan hari itu bukan berawal dari perencanaan matang, malah cukup implusif.
Hanya untuk mengisi waktu jeda sebelum janji bertemu, kami ngelencer ke Kintamani. Berangkat dari Sanur sekitar jam 11, perjalanan sekitar 2 jam, lalu turun sekitar pukul 15 WITA. So, aman lah buat janji meeting jam 6 sore menjelang senja.
Hari itu bertepatan dengan Imlek. Kintamani diguyur hujan.
Tentu saja hujan yang tak kukeluhkan. Bukan saja karena hujan saat Imlek diyakini sebagai simbol guyuran rezeki dan keberuntungan, tapi karena memang sedang musim hujan saat kami ke sana. 🙂
Siang itu, hujan membuat kekacauan di jalan.
Mobil-mobil memadati jalanan yang menanjak. Padat merayap, meski tak sampai seperti kemacetan di Puncak yang memaksa jalur buka tutup.
Setelah sempat terhenti saat membayar retribusi masuk area wisata, kami melihat satu spot parkiran mobil di depan Akasa Kintamani Cofee. Cukup dekat ke pintu masuk. Kalaupun harus setengah berlari untuk menjangkaunya, tak akan terlalu basah meski tanpa payung.
Ketika masuk, kedai kopi itu penuh orang, sesuai proyeksi dari padatnya tempat parkir.
Deretan Harley Davidson yang parkir memenuhi area depan terkonfirmasi oleh sekumpulan bapak-bapak beruban dengan perut bundar dan jaket kulit yang bercengkerama dengan riang gembira.
Ada juga keluarga besar yang liburan bersama, kumpulan anak tanggung yang setegah basah -mungkin mereka touring dari Denpasar atau Gianyar- , tamu-tamu tunggal yang membawa buku, serta beberapa pasangan yang berharap menikmati akhir pekan menyenangkan tanpa drama.
Waitres menyambut kami, menunjukkan meja kosong untuk bertiga di area bergaya teater dengan gunung sebagai layarnya. Tapi tentu saja, di hari penuh hujan seperti itu yang terlihat hanya kabut. Kelabu. tak gelap, tapi pekat.
“Ah, jadi enggak kelihatan deh gunungnya.”

Menikmati tanpa merasai
Saat menunggu pesanan long black yang dijual seharga Rp30 ribuan, serta salmon glazed (yang kupesan karena tak nyaman hanya order 30 ribuan), hujan semakin menderas.
Sungguh, terasa indah. Tentu saja karena aku tak basah.
Aku selalu sebal kehujanan, tapi senang melihat dan mendengarkannya dari kehangatan ruang yang penuh aroma kopi.
Kurasa, sebagian besar hidupku kuhabiskan dengan cara itu.
Senang melihat, tapi keberatan untuk merasakan.
Senang melihat kompetisi memasak, tapi aku yakin pasti tak nyaman untuk mengikutinya.
Senang membayangkan ada buku dengan namaku terpajang di toko buku, tapi ogah menghadapi kesulitan menujunya.
Apakah diantara kamu ada yang senang seseorang tapi menahan diri karena takut ditolak, atau ragu karena membayangkan kesulitan yang bakal timbul seperti Sang-su dan Su-Yeong di drakor The Interest of Love? 😀
Senang itu dan ini, tapi nanti dulu saat harus menjalankan.
Namun kurasa, itu juga bukan kesalahan.
Tak semua yang kita inginkan perlu dilakukan sekarang.
Mungkin nanti jika sudah waktunya, atau mungkin kelak malah tidak perlu dilakukan sama sekali.
Seperti hujan, yang bagiku menyenangkan untuk dinikmati dari ruang yang hangat, atau minimal dari ruang yang teduh, seperti siang itu.
Tak lama, waitress datang membawa kopi pesanan. Kopi kintamani dari kebun mereka sendiri, 100% arabica.
Aku yang bertahun-tahun ini masih di level ‘magang’ buat menikmati kopi, sejauh ini meyakini kopi 100% arabica adalah kopi terbaik. Saat baru diseduh, buih coklatnya menutupi permukaan gelas, terasa intens tapi lembut. Bold but subtle.
Dan suasana siang itu pas untuk menyesap kopi lambat-lambat.
Tak lama, aku seperti masuk ke lubang kelinci Alice in the Wonderland.
Akasa yang siang itu penuh orang dan suara-suara berdengung, lama-lama terasa senyap.
Rasanya cuma ada aku, kopi kintamani, suara hujan, dan kabut kelabu, meski orang-orang dan obrolan mereka tak beranjak dari situ.
Think nothing. Just feel.
And I know I’m blessed. For being there. For being me.
Gunung yang tak terlihat itu tak lagi kusesalkan.
Kabut kelabu itu tak lagi menganggu.
Semua sudah bagus apa adanya seperti itu, di saat itu.