Melihat Google Map, jarak Depok menuju Jatiluhur dapat ditempuh kurang dari 2 jam. Pertimbangan itu yang bikin kami cuss berangkat, untuk menghabiskan waktu 4-6 Februari 2022.
Perjalanan cukup lancar sampai Sate Maranggi Bu Hj Yetti.
Tirto, anakku, terkagum-kagum dengan deretan sate dibakar, menghasilkan asap luar biasa.
Saat itu awal PPKM Level 3 Jawa -Bali. Tapi sepanjang perjalanan cukup ramai. Apalagi di tempat sate.
Kami bismillah aja lah, dan sedisiplin mungkin menerapkan prokes.
Perjalanan kemudian berlanjut. Google map mengarahkan kami masuk ke kota Purwakarta.
Drama jalan hancur
Jarak dari Cibungur menuju Jatiluhur Valley Resort enggak terlalu jauh, sekitar 17 kilometer. Namun waktu tempuh menunjukkan 45 menit.
Sekitar 10 menit perjalanan, ada opsi masuk tol.
Saya mikir, ngapain banget sih masuk tol. Lewat kota aja lah, seklian lihat-lihat.
Dan….drama pun di mulai.
Tak lama kemudian, kami diarahkan ke jalan yang hancur.
Ditambah, GPS mendadak tak lancar, sehingga arahnya pun terasa membingungkan.
Plang penunjuk jalan menunjukkan kiri, namun layar GPS menunjukkan jalan lurus lalu ke kanan.
Satu bocah navigator yang kebingungan, ditambah bapak yang pegang kemudi dengan tak sabar, dan ibu yang berisik di belakang.
Untung ada orang lokal yang bisa ditanya arah.
Inhale…exhale…
Meski udah sering roadtrip, tetap saja ledakan-ledakan kecil tak terelakan.
Jika ada ledakan semacam itu, yang wajar dalam perjalanan, kuncinya cuma diam.
Sampai nafas kembali normal. Sampai suasana kembali tenang. Sampai nalar kembali mengendalikan.
Mobil berjalan perlahan di jalan tanah penuh bongkahan dan debu, sesekali menanjak.
Di sisi jalan, hanya ada pohon-pohon yang tampak merana, dan rumah penduduk yang jarang.
Sekitar 30 menit perjalanan penuh siksa, akhirnya kami sampai ke bundaran pertigaan. Mobil berbelok ke kanan.
Perjalanan kembali riang begitu aspal mulus. Pohon-pohon tinggi yang subur menjulang di kanan kiri jalan. Rindangnya bikin hati adem.
Percaya diri pun memuncak meski hujan mulai deras.
Kami tiba di hotel sesaat sebelum petang. Untung sudah pesan di Agoda, dan sudah telepon untuk memilih kamar.
Kami dapat kamar di lantai 1, persis depan kolam renang. Alhamdulillah.
Staycation santuy

Jatiluhur Valley & Resort tergolong nyaman untuk keluarga. Selain kami, cukup banyak keluarga menginap, ketahuan dari jumlah bocil yang memenuhi kolam renang.
Selain kamar deluxe seperti yang kami tempati, mereka juga menyediakan tipe standar dan bungalow.
Overall kasur enak, bantal oke, tapi kamar mandinya terlalu kecil dengan pintu yang bikin sempit.
Wifi parah banget, enggak bisa diandalkan kalo kamu niat Work from Hotel.
Tapi overall, masih nyaman. Terutama, depan kolam renang. Tirto tentu girang. Dia memang paling betah main di air.
Menggunakan air waduk, kolam renang berukuran panjang 25 meter dan minim kaporit itu bikin acara renang makin asyik. Plus, kami ke sana tuh mendung melulu.
Buat yang mau bengong-bengong aja juga not bad. Ada jendela besar bisa dibuka, dan kamu bisa tarik kursi ke situ buat baca buku.
Sarapan lumayan lah. Hari sabtu, menu nasi goreng standar, dan sejumlah lauk. Bisa pesen omelet, panggang roti, atau makan bubur.
Hari minggu kami dapat menu nasi uduk, dengan pilihan aneka lauk, plus soto. Salah satu lauk, ayam goreng yang enak. 😀
Buat budget nginap sekitar Rp500 ribu/malam, oke lah buat kami bertiga. Nambah sarapan cukup membayar Rp85 ribu di restoran.
Bengong Cantik di Istora
Selain mengelola hotel bintang tiga Jatiluhur Valley & Resort, Perum Jasa Tirta II juga mengelola kafe Istora yang langsung menghadap waduk Jatiluhur.
Angin semilir, cuaca sejuk, sesekali kabut tipis, hujan gerimis tipis, dan bentang waduk terbesar di Asia Tenggara ada di depan mata. Syahdu, bikin perasaan langsung tenang.
Rasanya cuma pengen diem bengong aja, enggak mikir apa-apa. Just enjoy the moment.
Di saat-saat seperti itu, rasanya disayang Tuhan banget. 🙂
Nah, buat nemenin bengong menatap Jatiluhur, ada suguhan aneka kopi, makanan ringan, dan makanan berat.
Nasi timbel komplit ialah pilihan aman. Mereka pakai ayam kampung yang digoreng sedap, plus ikan asin, tempe, tahu, lalapan, dan sambal. Minus sayur asem.
Harga sepaket nasi timbel komplit ialah Rp55 ribu, belum pajak. Total sekitar Rp66 ribu. Harganya sama seperti kalau kita pesan room service.
Gorengannya juga enak. Cocok sih sama ngopi atau ngeteh.
Kami cukup lama di situ. Sesekali foto, tapi banyakan nyanteinya. Saya nyambi bikin proposal penulisan untuk dikirim Senin. Semoga proposal yang dibuat di tempat adem gitu cuss ya. 😀

Selain di Istora, kita juga bisa makan di kedai-kedai kecil sekitaran waduk. Umumnya mereka jual menu ikan tawar. Mujairnya besar-besar.
Kalau males bengong, bisa sewa perahu di area waduk, atau main paddle di The Bay.
Karena hujan rintik-rintik melulu, saya dan Tirto naik perahu buat keliling di waduk. Di sini sistemnya sewa per kapal Rp200 ribu untuk keliling sampai pulau, atau Rp150 ribu untuk keliling putaran pendek.
Setiap kapal berkapasitas hingga 12 orang. Jadi, naik berdua atau berdua belas, ya bayar sewa tetap dihitung per kapal.
Perahu kelotok bergerak perlahan. Ini pengalaman pertama kali bagi Tirto menumpang perahu kecil. Air beriak, menggoyang perahu.
Tak lama kami mendekat ke hamparan enceng gondok, lalu melaju ke tengah waduk.
Dari kejauhan, terlihat keramba-keramba ikan. Ratusan orang di sana menggantungkan hidup dari Keramba Jaring Apung, meski pemilik keramba disinyalir bukan penduduk asli Purawakarta.
Jongging berteman monyet dan pohon tua
Jalanan di kawasan waduk Jatiluhur enak buat sepedaan, atau jogging, atau bahkan main motor 😀
Cuma ya itu, enggak ada track khusus, sehingga berisiko tinggi. Bayangkan mobil dan motor akamsi yang meluncur kencang di jalanan aspal halus nan lebar.
Sementara, pohon-pohon tua di kanan kiri. Sesekali tampak monyet bergelantungan di dahan. Suara burung, tonggeret, terus bersautan.
Jalanan yang naik turun lumayan menguras tenaga. Jalan dari hotel ke Istora sekitar 1 kilometer butuh waktu sekitar 15 menit, tapi bikin badan basah keringat. Segar!
My Two Cents Comment
Kalau nanti proyek kereta api cepat sudah beres, dan jalanan mulus, tentu akan selalu ada alasan untuk menikmati Jatiluhur, plus blusukan ke kota Purwakarta.
Selain jalanan rusak yang menggangu selera kelayapan, pengalaman kami di Jatiluhur cukup menyenangkan. Apalagi, masih banyak sudut belum dijelajahi. Kami juga belum merasakan pengalaman saat cuaca cerah.
Plus, waduk ini juga punya cerita. Ada banyak bahan diskusi dengan bocah, mulai dari hamparan enceng gondok yang luas, hingga pengorbanan 14 desa yang tenggelam saat bendungan dibangun pada 1957.
Lebih dari 5 ribu orang pada saat itu dipindahkan ke daerah-daerah sekitar bendungan, dan ke Karawang
Sampai jumpa lagi Jatiluhur
