Referensi Penting Memahami Patah Hati

Buat yang senang dan gampang jatuh cinta, maka memahami proses patah hati ialah pelajaran paling penting. Remuk redam, tapi seharusnya menguatkan.

Table of Contents

Patah hati bukan semata urusan naksir atau jatuh cinta pada seseorang yang tak kesampaian. Atau hubungan yang kandas. Tapi bisa juga patah harapan pada impian. Atau pada keyakinan atas suatu hal. Atau ditinggal meninggal piaraan kesayaan.

Terlalu banyak alasan bagi seseorang untuk merasakan patah hati. Dan efeknya pun beragam. Mulai dari patah hati yang lumayan cepat reda hanya dengan jalan-jalan, banyak doa, atau bisa juga terhantui berminggu-minggu.

Seperti si Ho Chi Mo (polisi 233) dalam film Chungking Express yang terus denial saat putus dengan kekasihnya, May. Karena dia diputusin pada 1 April 1994, dia berharap itu cuma April Mop dan si kekasih akan kembali pada 1 Mei.

Maka Chi Mo bertekad makan nanas kalengan bertanggal kedaluwarsa 1 Mei sesuai tanggal lahir si pacar. Nanas kalengan memang kesukaan si pacar.

Ya gitu, saat patah hati, kita sulit melihat warna-warni dunia dan rima kehidupan. Semuanya tampak murung, mendung.

Satu senandung lagu kenangan saja mampu bikin air mata bercucuran dan mendadak kita benci setengah mati pada lagu yang dulu pernah jadi lagu kesayangan.

Dan bisa jadi, rasanya membekas begitu lama, kemudian bertumpuk menjadi dendam.

Saya ingat ada masa-masanya saya menonton banyak film di masa-masa patah hati. Entah karena seseorang, atau karena sepotong harapan yang semakin kandas. Bersama seorang teman yang sedang patah hati juga, kami menelusuri gang-gang di Glodok berburu dvd bajakan.

Kebanyakan film-film Hollywood, semacam Before Sunrise, My Blueberry Night, series Sex in The City, dan film-film Hong Kong era 90-an dan awal 2000-an. Meski bajakan, kualitas cukup oke untuk film-film yang berusia lebih dari satu dekade. Istilahnya, KW-Ori. Maklum, belum ada platform berbayar seperti sekarang. Bebas mau langgangan Netflix, Catchplay, Mubi, ataupun download dari Google Movie.

Salah satu DVD bajakan yang ngeblur saat itu ialah Chungking Express, sampai saya skip. Udahlah sinematografinya artsy begitu, tapi ngeblur. Puyeng kan.

Lalu sebuah lembaga kebudayaan menayangkan Chungking Express. Saya terlambat datang karena jadwal liputan yang molor. Tapi lamat-lamat saya ingat kenapa lokasi yang padat ala Glodok itu bisa tampak indah di film Wong Kar Wai.

Setelah itu, saya tak pernah bisa menonton Chungking Express dengan utuh.

Tak lama, saya bertugas meliput ke sebuah acara peluncuran printer di Hong Kong. Itu kepergian ke luar negeri perdana. Kami berlima, kalau saya tak salah ingat. Tapi saya satu-satunya yang minta tolong kepada PR perusahaan itu untuk menjadikan tiket kepulangan saya menjadi open. Ini praktik umum pada masa saya bekerja, karena biasanya ada ketambahan tugas liputan. Sekalian, gitu.

Saya punya satu hari penuh sebelum menjalankan liputan tambahan yang saya usulkan tentang para TKI di Hong Kong yang sering piknik di Victoria Park.

Graham Street, salah satu lokasi si polisi ketemu Faye di film Chungking Express, penuh sesak. Sebagian besar oleh turis. Gedung-gedung kuno masih berdiri tegak. Saya ingat sulit memilih makanan lokal di siang itu. Namanya ingin napak tilas, sebisa mungkin semua lokal kan.

Sudah jelas saya tak mampu makan nasi babi kecap seperti yang dilahap Tony Leung (polisi 663) pada Chungking Express. Bau lemak, bercampur aroma bawang putih, seperti memeluk udara siang itu. Celotehan orang-orang, teriakan bos kedai kepada pegawainya, ataupun gibahan para turis terasa riuh, tapi juga menjadi melodi di telinga. Asing, tapi tak membuatmu kesepian.

Saya juga menjajal eskalator tertinggi di dunia itu, yang melintasi flat si polisi dan selalu disambangi Faye. Saya melakukannya di siang hari, ketika ramai. Juga di malam hari, ketika sepi, dan paranoid sendiri ketika seorang India seolah-olah mengikuti saya dari belakang. Serem!

Bukan rasis ya. Tapi memang di film itu mengisahkan orang-orang India yang sering diperalat untuk menjadi kurir narkoba. Saat itu, saya sampai berlari karena orang itu bergerak makin dekat dan jadi ikut berlari. Ya, bisa saja sih, dia sama paranoidnya sama saya, dan ketika saya lari dia ikut lari.

Saya pilih naik taksi saat itu, dan bangkrut. Hiks.

Kini, hampir 18 tahun sejak kejadian itu, saya sudah berulang kali menonton Chungking Express.

Terakhir, tadi malam.

Meski tersedia di Vidio, saya pilih nonton di Mubi yang kualitas gambarnya jauh lebih mumpuni. Vidio tuh kacau, dan sering banget buffering.

Dan memang ya, film, bahkan lagu, buku, atau karya seni lain yang jenius akan selalu bisa dinikmati kapan saja, dan terasa masih relevan.

Itu juga yang masih saya rasakan ketika nonton Chungking Express, tentu saja dalam kondisi jauh dari galau patah hati.

Bahkan ternyata quote-quote yang saya suka juga ga beranjak, dan semakin menjadi konfirmasi.

Tentang jogging saat patah hati agar air di tubuh keluar sebagai keringat dan tak lagi bisa jadi air mata, yes I did. Cuapeknya pol.

Tentang jangan buang-buang waktu buat memahami seseorang karena orang selalu berubah, yes I agree. Toh, terbukti Tuhan maha membolak-balikkan hati. Telen ajalah apa adanya, expect nothing. Kalau memang gak sanggup, ya pergilah.

Dan banyak lagi.

Tentang kenangan dan masa expired (analogi ini sering saya dapatkan di cerpen dan novel-novel penulis Indonesia).

Tentang surat putus yang menurutku epik -sungguh kejam dan bergaya- dan keliatan niat banget enggak ingin dilupakan.  Change of flight. Your place cancelled. Here’s your key. Bye.

Dan yaaa.. silakan menonton sendiri.

Banyak dialog-dialog keren tapi gak terasa aneh, terasa nge-blend dengan keseharian. Makanya saya paham kenapa film ini banyak disarankan buat ditonton saat galau patah hati agar bisa melihat kesedihan dari sudut pandang yang baru.

Salah satu yang paling aku suka, ialah interaksi si polisi dan pemilik kedai.

Si polisi 663 selalu beli kopi hitam dan chef’s salad.

“Chef’s salad lagi?”

“Bukan buat aku, buat pacarku.”

“Oh favoritnya ya.”

“Enggak tau juga sih. Dia gak bilang gak suka juga.”

Malam itu, pemilik kedai nawarin polisi buat beli fish and chips, jangan chef’s salad melulu.

“Coba kasi pilihan. Fish and chips ga mahal-mahal amat kok.”

Akhirnya ia setuju. Malam itu bawa pulang kopi hitam dan dua bungkusan.

Malam berikutnya, polisi itu datang lagi.

“Fish and Chips ya.”

“Kaaan. Oe bilang juga apa.”

“Ya harusnya dia bilang dong kalau ga suka Chef’s Salad.”

Malam itu si pemilik kedai lalu menawarkan pizza. Up selling terus lah pokoknya.

“Kalau gitu coba pizza.”

“Kalau dia gak suka gimana.”

“Ya pakai trik yang sama. Beri dia pilihan, fish and chips dan pizza.”

Si polisi menurut.

Hingga beberapa malam kemudian, si polisi pesan kopi hitam.

“Mau coba lainnya? Hot dog juga enak.”

“No thanks, kopi saja buatku.”

“Gak pesan buat pacarmu?”

“Dia udah pergi”

“Loh, kenapa?

“Nyoba yang lain, katanya. Kurasa dia benar. Seperti makanan, laki-laki juga banyak pilihan. Hm, harusnya aku tetap beliin dia chef’s salad aja.”

“Jangan khawatir, dia akan coba bareng sama orang lain dan bakal tau kalau kamu yang terbaik. Dia bakal balik sama kamu.”

“Terima kasih”

Awwww…. smooth ya dialog dan momennya. So casual tapi ngasi pemahaman. Dan sejujurnya, ini susah. Pasti sering kan nemu adegan-adegan dengan dialog yang “aneh” dalam perbincangan sehari-hari terutama dalam film-film atau series Indonesia. Dialog ala puisi yang waduh.. enggak mungkin ada di dialog sehari-hari kita.

Dan pada akhir film Chungking Express, si polisi ambil alih kedai itu.

“Sepupumu itu jago bisnis. Awalnya dia bikin aku beli fish and chips. Dan sekarang aku beli seluruh isi tokonya.”

😀

Share:

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *