Hari ini menjadi penanda untuk revisit peristiwa kekerasan yang pernah terjadi pada PRT Sunarsih. Anak perempuan 14 tahun itu, bersama 4 teman lainnya, mengalami kekerasan fisik dan psikis dari majikannya bernama Ita.
Hari PRT Nasional sendiri mulai diperingati pada 2007, namun biasanya tak terdengar. Kalah dengan gempita hari Valentine, dan Hari Jomblo (Single Awarenes Day).
Meski sudah diperingati sejak 2007, Rancangan Undang-Undang PRT yang sudah diusulkan sejak 2004, masih saja menggantung sampai sekarang. Padahal sudah sempat masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas)) hingga 2014.
Anggota DPR juga sudah pakai uang negara untuk studi banding ke Argentina dan Afrika Selatan pada 2012. Uji coba juga sudah dilakukan di Makassar, Medan, dan Malang.
Hak atas gaji layak, beban kerja yang masuk akal, hak atas hari libur, hingga akses terhadap jaminan sosial, merupakan beberapa aturan yang diperjuangkan dalam RUU tersebut.
Seperti kita ketahui, banyak kekerasan terhadap PRT yang diberitakan media. Sampai terasa drama, dan di luar nalar. Kok bisa menindas sebegitu jauh?
Baca: Rangkuman Kisah PRT di 7 Kota

PRT (seharusnya) juga pekerja profesional
Sejak kecil, saya terbiasa dengan kehadiran PRT di rumah. Ada yang betah lama kemudian meninggalkan rumah saat ia menikah. Ada juga yang bertahan sebentar.
Yang paling saya ingat, Mbak Kam, PRT pertama di masa kecil saya. Ia bersama keluarga kami, mungkin sekitar 9 atau 10 tahun.
Mbak Kam berasal dari kampung yang tak jauh dari kampung ibu saya di Madiun, Jawa Timur. Dulu, banyak keluarga asli Jawa merantau ke luar kota dengan membawa remaja asal kampungnya untuk membantu pekerjaan rumah tangga.
Saya lupa usia Mbak Kam saat itu, mungkin masih ABG ketika pertama kali ikut keluarga kami. Mungkin 12 atau 14 tahun.
Pada tahun 80-an, memiliki PRT berusia muda sangat wajar. Bagi keluarga mereka di kampung, mengirim anak untuk ‘ngenger” dengan keluarga yang merantau di kota besar ialah hal yang baik. Sudah dianggap perubahan nasib.
Seingat saya, Mbak Kam enggak pernah bikin masalah. Ia cenderung diam dan cekatan.
Bertahun-tahun bekerja, enggak ada masalah berarti.
Dia mendapatkan kamar tidur. Karena ada dua kamar mandi di rumah, dia menggunakan kamar mandi di belakang. Ia membeli sendiri toiletris yang dia suka dan butuhkan.
Karena menginap di rumah, seingatku dulu tidak ada jam kerja khusus. Namun, setiap hari minggu, biasanya kami makan di luar, dan Mbak Kam kadang-kadang ikut, kadang-kadang di rumah.
Setahun sebelum resign untuk menikah dan pulang kampung, ibu saya menyuruhnya les menjahit di Juliana Jaya, Cirebon. Beberapa kali dalam seminggu, ia pergi les di sore hari, mengendarai sepeda mini.
Setelah ia pergi dari rumah, ada beberapa PRT bekerja di rumah kami, tapi tak lagi saya ingat. Ada yang sekampung, ada yang warga lokal Cirebon.
Salah satunya yang saya ingat, Ceu Yeye. Ia datang pagi, pulang sekitar ashar. Yang paling saya ingat, ia banyak bicara. Stok cerita horornya tak kunjung habis. Seru didengar saat makan siang, tapi bikin saya ketakutan jika ke kamar mandi malam-malam.
Ketika pindah ke Semarang, kami bersaudara bertiga sudah cukup besar untuk berbagi urusan rumah tangga. Tidak ada lagi PRT di rumah.
PRT menginap dan PRT pulang pergi
Saya baru memiliki PRT lagi ketika memiliki anak. Usianya sudah tua, namun tenaganya luar biasa. Dan yang penting, ia sabar dan menganggap anak kami sebagai cucu. Ia kenal dekat dengan mertua saya.
Ia menginap di rumah. Tugasnya cuma satu, menjaga anak. Tapi ia sering inisiatif memasak. Pengalaman mengurus kos-kosan yang menyediakan menu masakan, membuat sajiannya cukup variatif.
Saya tak memberi kontrak tertulis, namun setiap hari libur, saya usahakan dia beristirahat.
Sedangkan untuk urusan beres-beres rumah, ada PRT lain yang bekerja tanpa menginap. Usianya masih muda, pemalu, dan agak gugup bicara.
Sebelum dengan dia, ada PRT yang juga ikut bekerja dengan saya, namun penuh drama. >_<
Kami beberapa kali bepergian bersama. Kadang ke Bogor, atau ke Bandung. Makan di restoran, di meja yang sama.
Saya rasa, tidak ada issue berrarti dengan keduanya, meski tanpa kontrak. Bermodalkan kepercayaan dan etika normal saja.
Baru ketika pindah ke Depok, saya mengenalkan kontrak kepada PRT yang bekerja tanpa menginap.
Jam kerjanya pendek, maksimal 3 jam per hari. Jika bukan hari mencuci, dua jam juga kelar dan dia sudah pergi ke rumah lainnya untuk bekerja. Rumah saya kecil, cuma dihuni 3 orang saja.
Praktik itu cukup wajar di daerah tinggal saya di Depok. Ada yang cuma cuci-setrika-beberes, ada yang plus masak. Biasanya 1 PRT bekerja untuk 2 sampai 3 keluarga. Hanya keluarga dengan anak-anak balita yang membutuhkan PRT full time.
Mbak ku juga libur setiap hari Minggu, dan punya jatah izin tiap bulan.
Dia minta upah harian yang diakumulasi sebagai gaji Rp800 ribu per bulan, masuk jam 9 pulang jam 12. Pekerjannya bersih-bersih rumah, mencuci piring, serta cuci -setrika baju kami (3 orang).
Namun saya memberi Rp900 ribu per bulan, plus tambahan yang diberikan setiap beberapa bulan, atau jika ia butuh. Tambahan ini sekadar upaya biar dia punya tabungan saja.
Hari kerjanya, Senin-Sabtu, alias 6 hari kerja. Namun pada praktiknya, ia bekerja cukup 1 jam, paling lama 1,5 jam jika ditambah membersihkan sesuatu yang cukup detail.
Rumah saya kecil saja, enggak butuh waktu lama untuk sapu dan pel. Cuci baju dua hari sekali, menggunakan mesin cuci. Sedangkan cucian piring standar, enggak terlalu numpuk. Kalau malam, kadang saya paksakan enggak mencuci piring setelah makan malam, sekadar biar dia ada kerjaan cuci piring di pagi hari >_<.
Namun, akhir-akhir ini, ada perasaan aneh jika kita tidur dengan meninggalkan suatu pekerjaan yang tidak tuntas. Jadi, kadang-kadang, kalau saya sedang tak bisa mengabaikan perasaan aneh itu, saya cuci piring juga malam-malam. Lalu memasak esok pagi, dan dia mencuci peralatan memasak.
Cuma, saya produktif di laptop di jam-jam pagi. Jadi rasanya sayang banget kan kalau pagi hari dipakai buat masak.
Kalau mengikuti jadwal saya, biasanya saya baru masak jam 10an untuk makan siang. Sementara dia sudah pulang sejak jam 10. Jadi, ya gitu lah. Kadang tak ada cucian piring untuk dia kerjakan, paling gelas.
PRT juga bisa izin rata-rata 3-4 hari per bulan. Selain izin sakit, ia juga boleh izin untuk urusan keluarga lainnya.
Saat ia melahirkan, saya bolehkan cuti hamil 3 bulan, dan memberikan tunjangan melahirkan dan gaji di depan, sebelum ia libur.
Tapi kemudian ia berkeras bekerja sebulan setelah melahirkan, dan tetap mendapatkan gaji atas kerjanya.
Kalau dia izin sampai seminggu untuk pulang kampung, gaji bisa dipotong, mengacu pada prinsip upah harian. Namun, kalau tidak sampai seminggu, saya tetap memberikan full, semata karena malas menghitung.
Untuk kontrak kerja, saya mengacu pada contoh kontrak kerja dari IDWFED, dengan sejumlah penyesuaian mengingat ia bekerja tanpa menginap.
Menghitung gaji PRT berdasarkan UMP/UMK
Setahu saya, standar gaji PRT untuk wilayah Jabodetabek ialah Rp2-2,5 juta untuk PRT menginap, dan Rp1-1,5 juta untuk PRT pulang pergi yang bekerja full time.
Namun jika mengacu pada UMK Kota Depok 2022 sebesar Rp4.377.000,00, atau kita bulatkan saja Rp4,4 juta per bulan, maka standar gaji PRT yang berlaku masih jauh di bawah UMK.
Bagaimana dengan PRT pulang pergi yang bekerja tidak full time (8 atau maksimal 12 jam kerja)?
Mari berhitung menggunakan aturan upah minimum pekerja harian lepas berdasarkan Pasal 19 Permenaker 15 Tahun 2018.
Apabila menerapkan 6 hari kerja/minggu, maka kita dapat menentukan upah harian berdasarkan upah bulanan dibagi 25. Jika menerapkan 5 hari kerja/minggu, maka upah bulanan dibagi 21. Setelah itu, bisa dihitung prorata bila PRT bekerja tidak full time.
Pada kasus saya, diterapkan 6 hari kerja, dengan jam kerja rata-rata 1,5 jam per hari atau total 9 jam per minggu.
Mengacu UMK Kota Depok, (Rp4,4 juta-pembulatan), maka gaji PRT per jam ialah Rp22 ribu apabila menggunakan dasar perhitungan 8 jam kerja.
Jika bekerja 1,5 jam per hari, maka ia mendapatkan gaji Rp825 ribu per bulan (25 hari kerja).
Artinya, gaji bulanan PRT saya sudah sesuai perhitungan UMK. Namun, pada saat-saat tertentu, dia mendapatkan tambahan, semacam bonus. Dia baru memiliki BPJS saat sakit tahun lalu, dan baru saya bayarkan per 2022.
Memang, secara umum, gaji PRT informal yang di bawah UMK masih dinilai wajar. Apalagi jika kompetensi PRT masih sangat terbatas.
Nah, karena tidak ada batas yang jelas dan semua masih dinilai “kira-kira” berdasarkan best practice di daerah tersebut, maka potensi kekerasan terhadap PRT terbuka lebar.
Kompetensi PRT yang terbatas
Dari sisi pemberi kerja, tentu kita berharap mendapatkan PRT berkualitas yang bisa sepenuhnya mengerjakan pekerjaan rumah tangga dengan optimal.
Kalau boleh jujur, skill beres-beres rumah dan mencuci saya masih di atas PRT yang bekerja saat ini 😀
Serius.
Kenapa?
Ya karena dia juga enggak pernah berniat meningkatkan skill.
Dan saya pikir, itu wajar.
Selama ia menganggap pekerjaan sebagai PRT sebatas cara bertahan hidup, tidak menganggap dan berniat menjadikan profesi PRT sebagai keahlian profesional, sklill akan segitu-segitu aja.
Ini bukan cuma berlaku bagi PRT sih ya, tapi buat semua pekerja, termasuk saya.
Kalau kita bekerja secukupnya saja, asal digaji sekadar nyambung hidup, kita cenderung bekerja baik “sesuai argo”.
Kompetensu terbatas tentu berdampak pada kinerja.
Beberapa baju kami bolong karena teknik setrika yang salah.
Tak sedikit gelas dan mug menjadi kecoklatan karena teknik mencuci yang tidak pernah di-upgrade.
Seni nyimpen barang-nya juga kurang rapi.
Kurang inisiatif, juga sih. Masih harus banyak diperintah.
Dan memang, PRT informal (tidak dari yayasan) umumnya tidak memiliki sertifikasi kompetensi.
Baby sitter dari yayasan memiliki sertifikasi, wajar jika digaji berdasarkan UMP/UMK.
Namun, umumnya PRT di daerah saya bekerja untuk mendapatkan uang tanpa berpikir jauh untuk meningkatkan kompetensi.
Wajar, karena memang tak ada yang menjadikan PRT sebagai profesi cita-cita. Semua urusan bertahan hidup. Tak terbesit sekalipun, “saya harus bekerja sebagai PRT saat ini, maka saya akan jadi PRT terbaik”.
Sikap mental itu, tentu tidak ada, dan sepenuhnya dapat dimengerti.
Meminimalisir harapan

Sebagai pemberi kerja, saya berusaha mengajarkan dan memberi contoh.
Bagaimana mencuci gelas, agar bekas teh atau kopi tak membekas. Bahkan saya siapkan sitrun.
Bagaimana melipat baju ala Konmari sehingga rapi dan efektif.
Bahkan bagaimana menjemur agar pakaian berbahan kaos dan katun tidak terlalu kusut, sehingga beberapa jenis pakaian bisa langsung dilipat.
Semua saya ajarkan berdasarkan pengalaman dan video-video Youtube 😀
Apakah ia membaik?
Tidak terlalu. Kadang ingat, kadang tidak. 😀
Bisa jadi ia merasa kerepotan untuk menyesuaikan. Toh, rumah lain enggak request begitu. Padahal sebetulnya, ia bisa menerapkan tips trik yang saya ajarkan untuk rumah -rumah lainnya.
Tapi ia memilih tidak melakukan itu.
Dan saya juga memilih untuk.. bodo amat deh.
Kalau kebetulan saya senggang ketika ia menjemur, saya ingatkan. Jika saya berkutat dengan deadline, saya tak repot-repot ke belakang sekadar untuk mencerewetinya.
Sejauh ini, kami tahan saja sih. PRT tidak pernah minta resign, saya juga enggak pernah sampai hati untuk memberhentikan. Saat pandemi, gaji terpaksa dipotong 20 persen, namun saya bayarkan sekaligus dalam bentuk kompensasi.
Meski jam kerjanya pendek, tetap saja saya happy dan terbantu jika ada menyetrika baju, meski tetap harus saya adjust lagi agar cocok dengan metode penyimpanan di lemari 😀
Tetap saja happy jika ada yang menyapu dan mengepel lantai setiap hari. Sebab saya paling risih dengan lantai ngeres. Jadi saat tak ada yang menyapu lantai dan lantai ngeres, saya pilih pakai sandal rumah daripada menyapu dan mengepelnya. So, I’m quite happy with her.
Orangnya juga gak banyak tingkah, mesti kadang kelewat cuek jadi terkesan kurang sopan. Bisa loh dia cao tanpa mengucap salam, dan saya baru tersadar dia sudah pulang, beberapa saat kemudian. Biasanya ini terjadi ketika saya berkutat di meja kerja, jadi saya beranggapan dia sekadar tak mau menggangu saja.
So, hal-hal seperti itu termasuk yang bisa saya abaikan, sehingga tahun ini, PRT tersebut sudah bekerja 3 tahun di rumah kami. Mulai dari anaknya baru satu, dan kini si kecil itu sudah punya adik bayi.
Setiap rumah memiliki kondisi berbeda. Karena beban kerja rumah tangga saya enggak besar -dan sebetulnya bisa dikerjakan sendiri- jadi toleransi bisa lebih lebar.
Namun, semakin besar rumah, semakin banyak anggota keluarga, dan semakin kompleks lingkup pekerjaan rumah tangga, tentu berimbas pada kesiapan kita mempekerjakan PRT dengan baik, termasuk kesiapan kita uji mental sebelum bertemu PRT yang cocok.
Relasi ini timbal balik.
Jadi, sebetulnya, ada beberapa pendekatan yang bisa dicoba agar kita dapat membangun relasi kerja yang baik dengan PRT di rumah.
Jika keuangan terbatas, sementara lingkup pekerjaan rumah tangga sangat tinggi, ya gotong royong saja. Banyak keluarga dengan banyak anak yang masih SD sanggup bekerja sama. Tentu, pilihan ini lebih baik daripada melibatkan orang lain yang belum tentu sesuai spesifikasi yang kita inginkan, sementara kita juga ngos-ngosan untuk membayar sesuai standar UMK.
Kalau sekiranya kebutuhan kita tinggi dan spesifik, berlakukan sistem percobaan yang diinformasikan dengan jelas di depan, lengkap dengan syarat dan kondisi. Kalau tidak sesuai, cari lainnya, tanpa harus berlaku tak sepatutnya.
Semoga relasi pemberi kerja dan PRT di setiap rumah di Indonesia terus membaik.
Saat ini, PRT termasuk sektor informal yang tidak diatur dalam UU Ketengakerjaan No. 13/2003, sehingga belum ada ketentuan ataupun anggaran yang dialokasikan untuk menyiapkan tenaga kerja yang terampil.
Jadi, semoga RUU PRT tak lagi berlama-lama, sehingga dapat dihadirkan pelatihan kompetensi yang dapat menerbitkan sertifikasi bagi PRT, agar mereka memahami dan berdaya atas hak dan kewajiban.
Dengan begitu, barulah relasi bisa setara.