Dunia tengah menyambut imajinasi Mark Zuckerberg atas Metaverse. Sejak pendiri Facebook itu mengumumkan perubahan nama perusahannya menjadi Meta sekaligus menggelontorkan investasi 10 miliar dolar atau setara 14 triliun rupiah, metaverse menjadi pembicaraan di mana-mana.
Harap dipahami, saat ini metaverse belum ada. Mark sendiri memprediksi butuh waktu 10-15 tahun lagi sampai metaverse betul-betul menjadi bagian dari kehidupan kita.
Mereka yang meyakini bahwa interaksi manusia akan lebih sering terjadi di dunia digital menjadi kelompok yang paling semangat menyambut metaverse.
Namun, apa sesungguhnya yang dijanjikan metaverse, serta sisi gelap apa yang patut diwaspadai?
Tulisan ini terposting sebagai hasil obrolan dengan anak 10 tahun semalam.
Di game Roblox, ia sudah gajian sebesar 800 Robux (mata uang di Roblox). Pekerjannya: builder. Ia membangun mobil dan mendesain/modifikasi mobil. Ia menggunakan gajinya untuk membeli baju bagi avatarnya, atau ngurusin hewan peliharaan virtualnya. Di dunia itu juga, ia investasi uang kripto.
Saat saya ngintip marketplace, perlu minimal Rp140 ribu untuk membeli 800 Robux.
“Jadi aku enggak minta uang Ibu buat main Roblox.”
Dih. Saat saya tagih uang listrik dan wifi yang dia pakai buat main Roblox, dia ngeles.
“Gajiku kan Robux. Ibu mau aku kasi Robux? Tapi entar juga enggak bisa dipakai bayar-bayar.”
Dih.
Sejujurnya, saat pertama kali tahu mengenai hal ini, saya agak speechless.
Bagaimana cara saya menyiapkan dia jika masa depannya tak bisa saya bayangkan saat ini?
Melarangnya bermain game tersebut jelas bukan pilihan, sementara dunia sedang berlari ke arah yang sama. Selama pandemi, saya merasakan betul bahwa membatasi screen time adalah mitos.
Akhirnya, saya cuma bisa belajar lagi segala hal tentang metaverse, kripto, NFT, dan entah apa lagi yang akan muncul, sambil menenangkan diri. Semoga doa ibu akan selamanya tangguh menjaga anaknya. #mentok.
Postingan ini sekadar bagian dari belajar saya, dan siapa tahu bermanfaat untuk yang mampir ke blog ini.

Apa itu metaverse?
Metaverse kerap diartikan sebagai simulasi dunia nyata manusia yang diimplementasikan di dunia maya atau internet. Mulai dari belajar, bekerja, belanja, nongkrong di kafe virtual, bahkan menonton pameran dan konser.
Dengan memasuki metaverse, kita dapat merasakan sensasi kebersamaan dengan orang di belahan bumi lain, meski kita di rumah saja. Kita akan memiliki avatar di metaverse, dan berinteraksi dengan avatar lain menggunakan teknologi perkembangan Augmented Reality (AR) sehingga betul-betul merasa hadir di ruang virtual.
Sebagai gambaran tentang metaverse, silakan menonton film ‘Ready Player One’ atau ‘Free Guy’. Atau coba intip game Roblox untuk membayangkan metaverse dalam grafis yang sederhana.

Metaverse membuka peluang ekonomi baru
Indonesia mau pindah ibu kota aja udah heboh kan.
Nah, bayangkan metaverse adalah dunia baru yang sedang dibangun untuk aktivitas manusia di masa depan. Di dalamnya dibutuhkan infrastruktur, komoditas, hingga mata uang. Peluang baru terbuka lebar. Ibaratnya, lahan masih sangat luas, karena besarnya dunia baru ini tak terbatas.
Tak heran, banyak perusahaan mengikuti jejak Meta untuk bersiap di metaverse. Mereka yang masuk duluan, membangun gedung-gedung, toko, dan bertindak sebagai tuan tanah, tentu paling berpeluang mengeruk keuntungan.
Kelak, kita juga bisa memiliki properti seperti tanah kavling atau gedung konser di metaverse yang bisa kamu sewakan untuk grup idol 😀
Atau, bisa juga bekerja sebagai desainer kostum avatar, bahkan arsitek yang menawarkan jasa mendesain gedung virtual. Cuan semua, tuh!
Entah akan ada profesi baru apa lagi di metaverse.
Negara ikut membangun metaverse
Korea Selatan sedang mengembangkan proyek metaverse dengan menggandeng sejumlah perusahaan teknologi papan atas di negaranya. Seoul digadang-gadang menjadi kota pertama yang memiliki metaverse. Ngurus KTP dan administrasi kependudukan lainnya cukup akses metaverse saja.
Pemerintah negara ginseng itu melibatkan 40 ribu profesional dan 220 perusahaan teknologi untuk mewujudkan target menjadi 5 besar negara terbesar di industri metaverse global pada 2026.

Arab Saudi pun ikutan. Terbaru, mereka menghadirkan hajar aswad di dalam metaverse, memungkinkan umat Islam menyentuhnya secara virtual sebelum datang ke Mekkah untuk ibadah haji dan umroh.
Pemerintah Indonesia juga mendorong kolaborasi multipihak dalam merintis dan mewujudkan multiverse versi Indonesia. Salah satu perusahaan perangkat lunak asal Indonesia, WIR Group, mulai berinvestasi mengembangkan perangkat metaverse.
Mata uang yang berlaku
Transaksi di metaverse membutuhkan aset kripto (koin dan token) sebagai alat tukar pembelian aset-aset digital. Aset kripto yang berfungsi sebagai mata uang dalam metaverse ini sudah terhubung di Decentraland (MANA) dan Sandbox (SAND), sehingga sudah terverifikasi.
Jadi tak mengherankan jika sekarang orang berinvestasi pada uang kripto, lepas dari urusan haram-halal. Mereka yang mulai sekarang sudah punya aset kripto bisa jadi sangat meyakini bahwa metaverse akan betul-betul menjadi kenyataan.
Koin dan token kripto itu dapat digunakan untuk membeli aset digital, seperti tanah virtual, bangunan, atapun sekadar baju untuk avatar kita di metaverse. Aset-aset tersebut telah dilekatkan teknologi Non-Fungible Token (NFT), sehingga memastikan kepemilikan yang jelas dan bersifat satu-satunya.
Thanks to Gozali Phenomenon, lebih banyak orang mengenal dan mencari tahu apa itu NFT.
Sebetulnya, produk apapun bisa dilekatkan NFT. Saat ini, gambar dan video yang paling lazim diperjualbelikan dalam bentuk NFT. Kelak, akan lebih banyak aset digital dalam bentuk NFT. Jadi, enggak bakal ada kasus tukar guling tanah virtual, atau pembajakan karya digital di metaverse.
Oh ya, selain Ghozali yang menghebohkan jagat OpenSea (marketplace NFT), ada NFT Indonesia yang super keren, asli karya seni, dan dikoleksi para pesohor mulai dari Chef Arnold sampai Brooklyn Beckham.
Saya ikutan happy buat Karafuru ini, meski enggak punya NFT nya 😀


Cara mengakses metaverse
Untuk menghadirkan pengalaman realistik layaknya dunia nyata kita membutuhkan perangkat Virtual Reality (VR), sarung tangan haptic untuk merasakan benda yang ada pada dunia virtual, serta dukungan audio.
Saat ini, Meta sudah mencoba menciptakan ruang kantor berbasis VR bernama Horizon Workrooms, memungkinkan tatap muka secara daring. Aplikasi tersebut dioperasikan melalui VR Oculus Quest 2 yang dibuat oleh Facebook.
Sisi gelap yang patut diwaspadai
Metaverse akan menjadi tempat terjadinya evolusi kapitalisme. Layaknya sebuah dunia baru, mereka yang lebih dulu menguasai metaverse sebagai tuan tanah dan pemilik properti akan menerima keuntungan paling besar. Mereka bisa menetapkan harga tinggi bagi para pemain metaverse gelombang baru.
Metaverse yang diisi avatar-avatar kita akan menyuburkan gaya hidup yang serba flexing/pamer. Tampilan asli boleh kucel, tapi avatar wajib pakai skin sultan. Artinya, akan muncul juga kekerasan dan bullying di dunia digital, yang berimbas pada kehidupan nyata. Barangkali, akan lebih banyak dibutuhkan psikolog untuk mengatasi persoalan terkait kesehatan mental.
Selain itu, transaksi yang terdesentralisasi (tanpa otoritas lembaga tertentu) memungkinkan perdagangan produk ilegal, bahkan perdagangan manusia dan organ tubuh.
Dari sisi lingkungan, metaverse memang memangkas jejak karbon dari transportasi untuk bekerja, pertemuan, wisata, atau sekolah. Namun, demi menghasilkan tampilan tiga dimensi dengan kualitas grafis sempurna dibutuhkan sumber daya energi yang besar sehingga memicu kenaikan emisi karbon.
Melihat percepatan transformasi digital semasa pandemi, bukannya tak mungkin metaverse hadir lebih cepat. Namun, sehebat apapun imajinasi atas metaverse, sumber energi terbarukan harus lebih dulu dipersiapkan. Tanpa energi, metaverse hanya dunia halu yang bisa dibayangkan saat mati lampu.
Apakah kita harus bersiap investasi di metaverse?
Tergantung.
Kalau kita yakin kehadiran metaverse akan nyata, kita bisa mulai investasi dari sekarang.
Jika saya punya uang dingin yang siap hilang dalam 5-10 tahun dari sekarang, saya akan memilih berinvetasi pada perusahaan yang bakal dibutuhkan di metaverse, dan sedang membangun ke sana.
Dengan cara apa?
Dengan cara membeli saham perusahaan tersebut. Kayanya saya bukan tipe orang yang membeli NFT atau aset kripto untuk investasi. 😀
Perusahaan apa saja?
Selain Meta yang membangun metaverse (yang harga sahamnya tetep aja tinggi meski saat ini tengah rontok), ada perusahaan yang membangun infrastuktur pendukung. NVDIA yang menyediakan kartu grafis untuk tampilan visual, hingga perusahaan game atau konten. Perusahaan-perusahaan ini bisa jadi pilihan.
Apakah saya bersemangat dengan Metaverse?
Biasa aja, ternyata. Mungkin faktor usia. Hahaha.
Saya mencari tahu tentang metaverse sekadar ingin mendapatkan gambaran tentang dunia yang mungkin akan menjadi keseharian anak nantinya.
And u know what.
Saya semakin berharap dia selalu bisa bahagia menjalani hidupnya. Enggak sakit berat, punya hal-hal yang bisa bikin senang dan tenang.